Budaya Instan Daring
SINDO WEEKLY
Himawan Wijanarko*
Gojek berhasil membangun citra sebagai penyedia layanan transportasi yang memiliki service culture yang lebih baik dari ojek pangkalandalam waktu yang relatif singkat. Pelanggan ojek pangkalan pun bermigrasi ke Gojek. Tak hanya itu, orang yang dulunya alergi terhadap ojek, menjadi tertarik untuk memanfaatkan jasa ojek online macam Gojek, Grab, dan Uber. Gojek telah menyedot penumpang ojek konvensional, karena mudah dipesan, penumpang merasa aman, pengemudi lebih ramah, dan lebih murah.
Apakah ojek pangkalan tidak ada yang memberi layanan yang baik? Tentu ada. Tergantung siapa orangnya. Ada yang baik, ada yang tidak. Tapi, citra yang terbentuk terlanjur kurang, karena tidak ada konsistensi tingkat layanan para penyedia jasa ojek pangkalan.
Persepsi ini juga muncul dari taksi online, yang sopirnya dianggap lebih ramah ketimbang sopir taksi konvensional. Walaupun dari kompetensi mereka tidak secanggih sopir taksi konvensional. Bahkan terdapat tuduhan sebagian sopir taksi konvensional sengaja membawa penumpang berputar-putar. Dulu bahkan ada istilah argo kuda. Dahulu diantara taksi konvensional yang citranya baik adalah Blue Bird, dan sekarang citra masih membawa berkah bagi Blue Bird. Di bandara Soetta, penumpang ngantri taksi Blue Bird, sementara taksi non Blue Bird berebut penumpang. Tentu situasi akan berubah seandainya taksi online ikut berkompetisi langsung.
Service culture menjadi andalan Blue Bird dalam berkompetisi dengan sesama taksi konvensional, dan membangunnya dengan susah payah dengan berbagai jurus. Sementara Gojek dan sejenisnya mampu membangun budaya itu dengan cepat melalui sistem, terutama yang mengatur reward dan punishment.
Tapi hati-hati. Uber kini tengah dibelit kesulitan yang bersumber dari budaya perusahaan. Sehingga tongkat kepemimpinan beralih dari pendirinya, Travis Kalamick. Tak lama setelah mengambilalih kepemimpinan Uber pada September 2017, Dara Khosrowshahi mewanti-wanti karyawanannya agar bersiap-siap menghadapi enam bulan yang menyakitkan. Pemerintah Amerika Serikat tengah menyelidiki kemungkinan keterlibatan jasa transportasi dalam jaringan (daring) itu dalam penyuapan, peranti lunak ilegal, skema harga yang kontroversial, dan pencurian kekayaan intelektual.
Sejumlah negara, semisal Brasil, telah memperlajari kemungkinan untuk melarang operasi Uber di negara mereka. Di London, Uber bahkan tidak lagi boleh beroperasi. Menurut Badan Regulasi Transportasi London, perilaku Uber mengancam keselamatan publik. Khosrowshahi telah menulis permohonan maaf kepada warga London. Ia tentu berharap izin operasi Uber di London bisa kembali diterbitkan.
Sejumlah karyawan dan mantan karyawan Uber yang menolak disebut namanya menjelaskan bahwa Uber memang suka menabrak aturan main. Travis Kalamick, membentuk Departemen Legal pada masa awal berdirinya perusahaan. Tujuannya? Mencari celah-celah aturan yang bisa diakali. Akibat rangkaian skandal yang menimpa Uber, Kalamick dipaksa mengundurkan diri.
Arianna Huffington, salah satu anggota dewan komirsaris Uber, mengatakan bahwa selama ini Uber terlalu bernafsu mengejar pertumbuhan tinggi, namun lalai membangun budayanya. Budaya berfungsi sebagai sistem kekebalan di tubuh sebuah perusahaan. Tugas Khosrowshahi-lah untuk mengatur masalah budaya ini.
Meski dianggap melakukan perbuatan-perbuatan tak terpuji, barangkali banyak khalayak yang masih bersedia memaafkan Uber, paling tidak untuk saat ini. Perusahaan ini adalah pelopor jasa transportasi daring yang telah banyak berkontribusi membantu orang untuk bepergian dengan lebih mudah, murah, dan cepat. Tak hanya itu, Uber juga telah turut berkontribusi menciptakan lapangan kerja.
Namun tentu hal ini tak mungkin berlangsung selamanya. Persaingan semakin memanas. Tuntutan untuk meregulasi transportasi daring pun makin nyaring. Demikian pula tuntutan agar dunia bisnis peduli terhadap etik dan kesejahteraan masyarakat. Oleh karenanya, yang diperlukan adalah reformasi budaya.
Pertumbuhan tinggi dan keuntungan yang menggunung kerap membuat perusahaan terlena. Kondisi ini menjadi lahan subuh mekarnya budaya perusahaan yang justru menjadi racun. Menurut Ershaghi, hal ini jamak terjadi di industri teknologi. Industri ini bersumber dari ide-ide kreatif, disokong dana dari investor. Akibatnya, perusahaan-perusahaan semacam ini terlalu memfokuskan diri pada pertumbuhan dan semangat untuk berkreasi. Untuk mencegah hal ini, kode tata berperilaku wajib disusun sejak dini.
*) Penulis adalah salah satu Master Consultant di The Jakarta Consulting Group